Sahabat...
Kata itu mungkin terdengar begitu indah. Tetapi, apa sih sebenarnya makna dari sahabat?
Ada yang mengatakan bahwa sahabat adalah orang yang selalu berada di samping kita saat suka maupun duka, ada lagi yang menganggap bahwa sahabat adalah orang yang selalu membantu disaat kita membutuhkannya, ada yang bilang sahabat itu adalah teman yang benar-benar dekat sampai tahu hal-hal kecil tentang kita, ada juga yang bilang sahabat itu kalau kemana-mana selalu bareng, atau mungkin ada yang mendefinisikan sahabat hanya sebagai tong sampah alias tempat curhat.
Sampai sekarang pun, saya belum menemukan definisi yang tepat untuk kata sahabat. Satu hal yang saya tahu, bersahabat itu sangat menyenangkan. Sepertinya dunia menjadi begitu lebih berwarna dan berpendar-pendar saat berada di antara sahabat dan menjadi buram saat potret itu tidak ada. Dan anehnya, bila bersama mereka, rasa percaya diri terus ada. Saya tak pernah mempertimbangkan rupa, kekayaan, dan penilaian-penilaian superfisial dalam memutuskan seseorang menjadi sahabat saya. Saya pikir, terlalu picik menilai manusia lewat sesuatu yang tidak diusahakannya. Selama dia baik, maka terbukalah tangan saya untuk menambah sosok-sosok dalam siklus kehidupan saya.Lalu bercandalah, bersenang-senanglah kami...
Namun, suatu saat ada masanya saya mengalami phobi terhadap kata persahabatan. Betapa banyak kejadian pahit silih berganti di atas janji-janji muluk persahabatan. Seorang sahabat saya-yang katanya setia- meninggalkan saya untuk laki-laki yang ia sukai. Sahabat satunya yang pernah berjanji sehidup semati, ternyata tidak pernah membalas sms-sms saya lagi setelah pindah ke luar kota. Sahabat lain bahkan tidak punya waktu untuk memberitahukan bahwa dia akan menikah. Ada sahabat yang hanya memanfaatkan saya untuk kepentingannya dan meninggalkan saya begitu saja. Ada juga sahabat yang tak pernah saya duga akan tega memfitnah di belakang punggung saya dan berderet kekecewaan demi kekecewaan yang saya rasakan. Sedangkan saya sangat menyayangi mereka, berusaha sesering mungkin mengontak mereka dan sama sekali tak ingin kehilangan sahabat-sahabat saya, saya merasa pengkhianatan itu tidak sepantasnya saya terima.
Saat itu, saya tidak percaya lagi akan sebuah persahabatan dan tidak berharap banyak akan hadirnya sosok seorang sahabat. Buat apa? toh semuanya akan pergi. Toh semuanya akan punya kehidupan masing-masing. Lalu dimana saya bila terus mengharapkan mereka? ruang apa yang harus saya miliki bila terus kecewa berdarah-darah untuk mereka? bahkan saya benci slogan friendship forever. Itu dusta!!! setiap detik yang dilalui bersama ternyata hanya menjadi kenangan tak bersisa. sia-sia!!!
Anda setuju dengan pendapat saya? bila tidak, tunggulah saat itu. Saat anda ditinggalkan sendirian tanpa tahu apa sebabnya. Tunggu saat anda dihinakan di depan orang-orang tanpa anda berbuat apa-apa. Tunggulah kecewa itu. Anda akan memahaminya. Bukan saya mendoakan lho. Saya hanya minta anda bersiap-siap. Tapi bila anda mengiyakan pendapat saya, tunggu sebentar. Saya harus mengingatkan peristiwa mengagumkan ini.
Diriwayatkan oleh Al-Adwi, izinkan Qurthubi bercerita kepada kita: ketika terjadi perang Yarmuk, aku mencari keponakanku, aku ingin memberikan minuman padanya dan aku temui dia dalam keadaan sekarat. Aku mendekatinya dan bertanya, "Maukah kau minum air ini?", ia menganggukkan kepalanya. Tapi tiba-tiba terdengar rintihan temannya yang sangat memilukan. Dia mengisyaratkan agar aku menemui temannya itu, Husein bin Ash. Aku berkata, "Maukah kau minum air ini?", ia menganggukkan kepala, tetapi kemudian Husein menolak karena mendengar teman yang lain merintih pula dan memintaku menemuinya. Ketika aku menjumpainya, ternyata ia sudah syahid. Lalu aku kembali kepada Husein, ia pun telah syahid. Seterusnya aku bergegas menemui keponakanku lagi dan ternyata dia juga sudah syahid.
Benarkah cerita itu? benar, wahai saudaraku. peristiwa luar biasa dari orang biasa. ya, sangat biasa. Seperti halnya kita, mereka punya kebutuhan layaknya manusia biasa. Punya untaian syaraf, sehingga merasakan sakit yang sama. Punya rasa haus yang sama. Perih yang sama. Lalu di tengah kecamuk perang, di keringnya pasir panas yang tandus, saat ruh sudah hampir tercabut dari raganya, untuk apa mereka masih memikirkan temannya? karena persahabatan kah? karena rasa tolong-menolongkah? Bukan. Demi Allah, bukan!!!
Karena kecintaan kepada Allah lah yang dapat mengorbankan jiwa, menguatkan hati dalam pedih derita. Hanya karena Allah menyuruh mereka mencintai rasul-Nya. Hanya karena Allah menyukai bila mereka mendahulukan saudara... Duhai Qurthubi, saat kau berlari-lari membawa kendi air, kau takjub bersama kami.
"Seseorang mengunjungi saudaranya di desa lain, lalu Allah mengutus malaikat untuk membuntutinya. Ketika malaikat menemuinya dan berkata, "kau mau kemana?", Ia menjawab, "aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini". Malaikat terus bertanya, "apakah kamu akan memberikan sesuatu pada saudaramu?", dia menjawab, "Tidak, tetapi hanya aku mencintainya karena Allah". Malaikat berkata, "sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai orang tersebut karena-Nya". (HR. Muslim)
Sahabat, bersahabatlah karena Allah saja sehingga aktivitas kita berada dalam selimut rahmat-Nya. Saling mengenal dan menolong dalam kebaikan, berkorban, saling menyayangi, dan menasehati... Bergabunglah dalam lingkaran-lingkaran sahabat yang tak lelah dan setia pada seruan Rabb mereka, yang tak henti saling bergandengan dalam kesabaran dan keshalihan.
agar persahabatan itu tidak sebatas atmosfer bumi yang fana saja. agar ia membumbung ke 'arsy-Nya dan berharga di mata-Nya. agar cinta-Nya turun ke bumi dan merasuk dalam diri kita. agar kita dibanggakan di depan malaikat-malaikat-Nya.
dan saya pun mulai percaya pada persahabatan...
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa" (QS Az-Zukhruf: 67)
Sungguh kita telah diperingatkan...
0 comments:
Post a Comment